(www.eramuslim.com) oleh : Merrihastuti
Bersyukur adalah menikmati penderitaan sama seperti menikmati
kebahagiaan. Mengapa kita harus memilah-milih sesuatu yang diberi oleh
Dzat yang sangat menyayangi kita? Tuhan memanggil kita, kadang dengan
cara yang meyenangkan hati kita, tapi kita menganggap itu suatu rahmat,
hingga kita terlena bahkan lupa dengan kewajiban kita. Akhirnya kita
didekatkan dengan Tuhan dengan cara yang menyakitkan. Seperti kehilangan
sesuatu yang sangat kita sayangi. Entah itu materi, seseorang yang
sangat kita sayangi, atau jabatan serta kekuasaan yang kita banggakan.
Sadarlah bahwa kita, manusia menuruni sifat-sifatnya. Pernahkah kita
berfikir bahwa Tuhan itu pencemburu? Tuhan tak pernah mau diduakan
dengan apapun. Seperti saya seorang wanita, tak pernah mau diduakan oleh
suami saya. Apalagi buat seorang pria. Tapi mengapa kita sering
mengkultuskan sesuatu. Tergila-gila pada seseorang sampai hampir bunuh
diri. Haus jabatan sampai halalkan segala cara. Pernahkah kita
tergila-gila pada Tuhan, sampai ingin bertemu denganNya secepat mungkin?
Saat itu, Tuhan memanggil saya. Dengan memisahkan saya dari suami
saya. Begitu sakit hati saya. Dalam pikiran saya saat itu, mengapa saya?
Apa salah saya Tuhan? Mengapa Tuhan kejam? Mengapa Tuhan ingin saya
meneteskan airmata? Apa yang Tuhan mau dari saya?
Dalam sebulan saya kehilangan 5 kg berat badan. Tidak bisa tidur,
makan, apalagi konsentrasi dengan pekerjaan. Betapa saya sangat
kehilangan orang yang saya cintai. Betapa sepi tanpa dia. Betapa saya
merasa sangat sendiri, padahal Tuhan bersama saya.
Bulan kedua setelah perpisahan saya dengan suami, saya banyak
habiskan waktu dengan membaca. Satu yang saya yakini ” BERSAMA KESULITAN
PASTI ADA KEMUDAHAN.” Saya jadi rajin mengikuti pengajian dan diskusi
keagamaan. Jujur, awalnya hanya untuk lupakan suami dan menerima dengan
ikhlas walau terpaksa.
Tapi kemudian, manfaat yang saya rasakan sangat mendalam. Membekas
dalam relung hati saya. Doa saya yang tadinya meminta agar Tuhan
mengembalikan suami saya yang pergi, kemudian berubah agar diberi
kesabaran bila harus kehilangan. Minta diberi kekuatan bila harus
sendirian menjalani hidup. Minta keikhlasan atas apa yang Tuhan beri.
Selain doa, ternyata usaha juga perlu. Dengan setia saya menunggu
suami, kalau-kalau dia menghubungi saya. Menunjukan kasih sayang saya
dengan menanyakan kabarnya. Walau kadang ada rasa tidak percaya bahwa
dia akan datang pada saya lagi.
Finally, setelah Tuhan “menyentil” saya, saya tersadar. Betapa selama
ini saya mendewakan suami saya. Betapa selama ini, hidup dan pikiran
saya hanya untuk dia. Padahal dalam sholat ada doa “sesungguhnya
sholatku, hidupku, mati hanya untuk Tuhan semesta alam.”
Dengan kesadaran dan pemahaman baru, saya merasa tenang. Sampai
akhirnya suami yang saya cintai datang lagi. Saya tetap menyayanginya,
tentu dengan cara yang berbeda
Sedang Tuhan saja pemarah, mengapa suami saya, manusia yang dituruni
sifatNya tidak? Kalo Tuhan saja Maha pengampun dan pemberi maaf, mengapa
saya, yang manusia tidak memberi maaf?
Terimalah kemarahan dan kasih sayang sebagai satu paket dari yang kita cintai dengan ikhlas.
Selasa, 11 Desember 2012
SAAT TUHAN MEMANGGILKU
22.47
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar